Suku Bugis Toalean – Pribumi
Suku Bugis merupakan kelompok etnis Austronesia terbesar di antara tiga kelompok etnolinguistik utama di Sulawesi Selatan, bersama dengan suku Makassar dan Toraja. Sulawesi Selatan terletak di bagian barat daya pulau Sulawesi, pulau terbesar ketiga di Indonesia. Pada tahun 1605, suku Bugis beralih dari kepercayaan animisme ke Islam. Meskipun mayoritas masyarakat Bugis menganut agama Islam, sebagian kecil dari mereka memeluk agama Kristen serta kepercayaan pra-Islam yang dikenal sebagai Tolotang
Suku Bugis, yang populasinya diperkirakan sekitar enam juta jiwa dan mencakup 2,5% dari total penduduk Indonesia.Secara historis, Suku Bugis dikenal sebagai pelaut dan perantau yang ulung. Selama beberapa abad terakhir, mereka telah menjelajahi dan menetap di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, serta daerah lain yang menjadi tujuan migrasi besar-besaran sejak akhir abad ke-17. Presiden ketiga Indonesia, B. J. Habibie,serta mantan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, memiliki keturunan Bugis. Di Malaysia, Yang di-Pertuan Agong saat ini, Sultan Ibrahim, dan perdana menteri kedelapan, Muhyiddin Yassin, juga memiliki darah keturunan Bugis.
Sebagian besar orang Bugis berbicara dalam bahasa daerah yang khas, yaitu bahasa Bugis (Basa Ugi), selain menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan, yang juga mencakup bahasa Makassar, Toraja, Mandar dan Massenrempulu. Nama “Bugis” merupakan eksonim yang berasal dari bentuk lama nama tersebut, sedangkan “(To) Ugi” adalah endonim yang digunakan oleh masyarakat Bugis sendiri.
Asal usul dan latar belakang
Toalean — Pribumi Pra-Austronesia di Sulawesi Selatan
Penduduk paling awal di Sulawesi Selatan kemungkinan berhubungan dengan Manusia Wajak yang berasal dari ras Proto-Australoid. Beberapa artefak serpihan ditemukan di lembah Sungai Walanae dan Maros, yang diperkirakan berasal dari antara 40.000 hingga 19.000 SM. Kebudayaan pemburu-pengumpul di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Budaya Toalean, yang didasarkan pada penggunaan alat berupa bilah, serpihan, dan mikrolit. Mereka mungkin berasal dari ras Melanesoid atau Australoid, sehingga berhubungan dengan populasi kontemporer di Papua Nugini atau Australia.
Pada tahun 2015, sisa-sisa kerangka seorang wanita muda bernama Bessé ditemukan di Leang Panninge, Sulawesi Selatan. Kerangka tersebut diperkirakan berusia lebih dari 7.200 tahun. Setengah dari DNA-nya diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan penduduk asli Australia, masyarakat di Papua Nugini, dan Pasifik Barat, serta menunjukkan adanya garis keturunan manusia yang sebelumnya tidak diketahui, yang bercabang sekitar 37.000 tahun lalu. DNA Bessé memberikan bukti penting dalam memahami migrasi manusia purba
Kedatangan Austronesia
Kedatangan orang-orang Austronesia ke Sulawesi Selatan membawa perubahan signifikan dalam sejarah wilayah tersebut. Diperkirakan bahwa mereka tiba sekitar 4.000 tahun yang lalu, membawa serta teknologi bercocok tanam, perahu layar, dan sistem sosial yang lebih kompleks. Orang Austronesia inilah yang kemudian berbaur dengan penduduk asli dan menjadi nenek moyang langsung suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk suku Bugis. Migrasi dan penyebaran budaya mereka memiliki dampak besar terhadap perkembangan bahasa, budaya, serta struktur sosial di wilayah ini.
Christian Pelras, seorang antropolog, mengajukan hipotesis bahwa proto-Bugis kemungkinan tiba dari luar negeri, mungkin dari Kalimantan, ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka didorong oleh keinginan untuk mengendalikan sumber daya mineral dan alam di daerah pedalaman. Seiring dengan penyebaran mereka ke interior wilayah yang kini dikenal sebagai pusat Bugis, kelompok ini semakin terpisah dari saudara-saudara mereka yang bersebelahan, seperti Suku Makassar, Mandar dan Toraja. Pada saat yang sama, proto-Bugis mulai mengasimilasi suku Austronesia yang sebelumnya berada di daerah yang jarang penduduknya, suatu proses di mana populasi asli secara bertahap mengadopsi bahasa dari pendatang baru. Dengan demikian, terbentuklah identitas hibrida melalui ethnogenesis, yang menggabungkan unsur-unsur asli dari masyarakat pribumi dengan teknik, barang, dan ide baru yang dibawa oleh pemukim baru, termasuk tenun, pengerjaan logam, dan doktrin teologis. Meskipun demikian, masyarakat tetap terbagi antara dua kelas utama, yaitu kaum bangsawan dan rakyat biasa
Tana Ogi — Tanah Bugis
Tanah leluhur suku Bugis terletak di sekitar Danau Tempe dan Danau Sidenreng di Depresi Walanae di semenanjung barat daya Sulawesi. Di sinilah nenek moyang suku Bugis saat ini menetap, kemungkinan pada pertengahan hingga akhir milenium kedua SM. Wilayah ini kaya akan ikan dan satwa liar, dan fluktuasi tahunan Danau Tempe (yang merupakan danau penampung untuk sungai Bila dan Walanae) memungkinkan penanaman padi secara spekulatif, sementara perbukitan dapat digunakan untuk bercocok tanam dengan sistem ladang, penanaman padi sawah, serta berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
Sekitar tahun 1200 M, ketersediaan barang-barang impor bergengsi, termasuk keramik Cina dan Asia Tenggara serta tekstil blok cetak dari Gujarat, ditambah dengan penemuan sumber bijih besi baru di Luwu, memicu revolusi agraria. Revolusi ini meluas dari kawasan danau besar ke dataran rendah di timur, selatan, dan barat Depresi Walanae. Proses ini mendorong perkembangan kerajaan-kerajaan utama di Sulawesi Selatan dan transformasi masyarakat adat menjadi proto-kerajaan yang bersifat hierarkis dalam kurun waktu empat ratus tahun berikutnya.
Sejarah
Masyarakat Awal
Gaya hidup masyarakat Bugis kuno sebagian besar dipertahankan oleh masyarakat Toraja yang masih memeluk agama tradisional hingga awal abad ke-20. Rumah mereka umumnya dibangun di atas tiang, dan komunitas-komunitas tersebut cenderung tersebar di sepanjang tepi sungai, pantai, atau tepi danau. Kegiatan utama pada periode ini meliputi bercocok tanam padi, millet, jali dan tanaman pangan lainnya, menangkap ikan dan kerang, memperoleh hasil hutan, serta berburu hewan liar. Kerbau diimpor dan digunakan dalam acara-acara penting.
Penduduk awal kemungkinan mengenakan pakaian yang sederhana. Wanita kemungkinan memakai rok, sementara pria mengenakan cawat dan mungkin juga penutup kepala. Berdasarkan bukti arkeologis, ditemukan sisa-sisa ornamen dari tembaga dan emas. Kerajinan tembikar terlihat ada, meskipun wadah bambu lebih banyak digunakan bersamaan dengan pisau bambu. Senjata terbuat dari besi dan batu, sementara helm dan perisai terbuat dari rotan.
Secara teologis, Bugis awal kemungkinan mempraktikkan pemujaan leluhur. Mereka juga memiliki ritual kuno yang berkaitan dengan pertanian dan kesuburan. Umumnya, jenazah dikuburkan, meskipun ada beberapa kasus di mana tubuh jenazah ditempatkan di laut atau danau, atau diletakkan di atas pohon. Praktik pemakaman lainnya termasuk pembakaran, terutama untuk para penguasa.
Meskipun terletak di komunitas yang jarang penduduknya, mereka tidak hidup dalam isolasi mutlak dari dunia luar. Sebaliknya, perdagangan dan komersial dianggap sangat penting dan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Temuan arkeologis di dekat Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba di Ara mengungkapkan artefak kuno yang berasal dari tahun 300 hingga 100 SM, menunjukkan bahwa bagian selatan Sulawesi memainkan peran integral dalam poros perdagangan maritim Asia Tenggara awal. Terdapat juga jejak keramik dan tembikar Cina serta kerajinan Asia Tenggara daratan yang diimpor ditemukan di pemakaman pra-Islam.
Namun, berbeda dengan sebagian besar Asia Tenggara, indikasi bahan-bahan Hindu dan Buddha cukup jarang ditemukan dalam budaya Sulawesi Selatan. Sistem tulisan Lontara, beberapa nama dan kata, serta beberapa patung Buddha dari perunggu yang ditemukan di Mandar dan Bantaeng hanya menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan Kepulauan Asia Tenggara barat dan kehadiran orang asing. Meskipun mereka memperoleh manfaat dari hubungan perdagangan tersebut, kemungkinan besar mereka menolak asimilasi budaya eksternal. Dengan demikian, elemen-elemen luar hampir tidak mempengaruhi perkembangan agama asli dan kerajaan-kerajaan adat di wilayah tersebut
Intensitas perdagangan awal menyebabkan perubahan bertahap dalam hal pengembangan ekonomi, struktur sosial dan kepentingan politik di antara masyarakat Sulawesi Selatan, yang secara mendasar menyebabkan kemunculan dan perkembangan kerajaan, dinasti dan politik Bugis
Pertumbuhan Kerajaan Bugis
Kemajuan aktivitas perdagangan antar-pulau dan meningkatnya interaksi dengan Jalur Sutra Maritim kemungkinan merupakan faktor utama yang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi bagi beberapa komoditas utama di Sulawesi Selatan. Periode antara tahun 1200 dan 1600 menyaksikan perubahan radikal dalam lanskap politik Semenanjung Selatan, Sulawesi.
Perdagangan di Sulawesi Selatan didasarkan pada ekspor barang langka, sebuah usaha yang dengan mudah dikuasai oleh kelas pemerintahan eksklusif. Struktur administratifnya cukup dasar, sebagian besar kerajaan bagian berbentuk kepemimpinan lokal yang kecil.Populasi yang kecil sudah memadai untuk membantu elit dengan penyediaan makanan, kerja fisik, dan bantuan militer untuk menjaga kemerdekaan kerajaan mereka.
Namun, pada abad ke-15, terjadi revolusi ekonomi besar, dan pertanian menjadi dasar ekonomi yang penting.Untuk melanjutkan kekuasaan mereka dalam masyarakat agraris, para elit penguasa kini diharuskan untuk menangani pertumbuhan yang hampir tanpa precedent di wilayah penghasil beras guna mengakomodasi ledakan populasi yang signifikan. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan perubahan ekonomi dan sosial, diperlukan sistem dan perantara baru.
Perdagangan dan komersial tetap mempertahankan kepentingan esensialnya bagi ekonomi Sulawesi Selatan. Beras menjadi sumber utama ekspor, dan pada saat yang sama, ekonomi didorong oleh impor barang-barang prestisius dari bagian lain kepulauan. Wilayah ini kemungkinan mengalami pertumbuhan luar biasa seiring dengan kemunculan Malaka sebagai entrepot regional. Sebaliknya, kekayaan keluarga elit di Sulawesi Selatan juga meningkat akibat transaksi komersial intensif ini, meskipun perdagangan kini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber kekayaan mereka.
Kemunculan Kekuatan Politik Baru di Semenanjung
Pada abad ke-1500, Luwu merupakan kekuatan politik utama Bugis, dengan kekuasaan di seluruh bagian besar semenanjung. Meskipun demikian, pemain geopolitik baru yang akan menentang dominasinya sudah mulai terbentuk pada akhir abad tersebut.
Dampak dari kebangkitan Malaka lebih terlihat di pesisir barat Sulawesi Selatan, wilayah dengan konsentrasi tinggi Melayu dan pedagang Minangkabau yang datang dari barat. Hal ini secara perlahan menarik perhatian kerajaan-kerajaan Soppeng dan Sidenreng, yang berusaha memasukkan wilayah tersebut dalam ekspansi teritorial mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis ini telah kehilangan akses langsung ke laut di pesisir barat akibat kekuasaan Luwu.
Sidenreng, sebagai wilayah bawahan di bawah kekuasaan Soppeng, perlahan-lahan tumbuh menjadi penting dan tampaknya mulai menolak dominasi Luwu di wilayah tersebut. Bekerja sama dengan beberapa kerajaan Bugis di pesisir barat — Sawitto’, Alitta, Suppa’, dan Bacukiki’; serta Rappang di pedalaman, mereka membentuk konfederasi longgar yang dikenal sebagai Ajatappareng (‘tanah di barat danau’).
Sebaliknya, wilayah Bugis tetangga Wajo juga memiliki aspirasi untuk otonomi terhadap Luwu, dan mulai memperluas pengaruh serta dominasinya di wilayah sekitarnya. Pada tahun 1490, mereka memasuki perjanjian dengan Luwu, yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi dianggap sebagai “pelayan” tetapi sebagai “anak Luwu”. Pada tahun 1498, orang Wajo mengangkat Arung Matoa Puang ri Maggalatung sebagai penguasa mereka, yang kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu Kerajaan Bugis utama.
Di pesisir barat daya, Kerajaan Bugis Bone di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua’ (sekitar 1433–83) juga melaksanakan rencana ekspansi untuk menyerap sebagian wilayah Luwu ke dalam kekuasaan vasalnya. Akibatnya, dua abad kemudian, wilayah tersebut menjadi area konfrontasi intens antara kedua kerajaan.
Sementara itu, Makassar, yang secara tradisional mendiami bagian selatan dalam-dalam dan pesisir barat semenanjung, terutama memusatkan kekuasaan politik mereka di Siang dan Bantaeng (yang terakhir mungkin masih berada di bawah kontrol nominal Luwu). Namun, kerajaan kembar Gowa dan Tallo (lebih dikenal oleh orang asing sebagai Kerajaan Makassar) mulai memperoleh pentingnya selama periode ini
Masyarakat Bugis-Makassar pada Abad ke-16
Pada abad ke-16, kehidupan Bugis ditandai dengan meningkatnya toleransi terhadap pengaruh asing. Produk-produk dari luar negeri tidak lagi terbatas pada kelas penguasa, tetapi juga mulai tersedia di kalangan rakyat biasa. Metode pembangunan rumah tetap tidak berubah. Sketsa dari beberapa sumber Barat pada paruh pertama abad ke-17 menggambarkan rumah-rumah kayu tinggi dan kokoh yang dibangun di atas tiang.
Namun, di dalam rumah-rumah yang lebih kaya, beberapa perabot asing seperti meja dan kursi mulai muncul, dan bukaan dinding dasar kadang-kadang berubah menjadi jendela yang dilengkapi dengan pintu geser. Nama-nama Bugis untuk benda-benda ini menunjukkan koneksi Portugis mereka, seperti Jendela (jendela) yang berasal dari Janela, Kadera (kursi) dari Cadeira; dan Mejang (meja) dari Mesa. Perubahan bertahap juga terlihat dalam alat-alat rumah tangga dan peralatan, termasuk gelas serta jug dan nampan bergaya Iberia. Selain itu, beberapa permainan Portugis seperti dadu, permainan kartu, dan kelereng juga diadopsi. Orang Portugis dan Spanyol juga memperkenalkan makanan dan hasil produksi baru dalam diet lokal, terutama dari Tanaman Dunia Baru: ubi jalar dan tembakau, serta barang-barang penting lainnya — ubi kayu, jagung, dan cabai.
Selama periode ini, wanita mengenakan celana panjang longgar; penggunaan tunik pendek dan lengan juga terlihat pada wanita menikah yang bebas. Untuk pria yang kaya, terdapat kecenderungan terhadap penggunaan kemeja dan topi bergaya Barat; terkadang dipadukan dengan buluh, dan jaket. Kelas budak dan pria biasa biasanya mengenakan pakaian tanpa atasan.
Upaya Awal untuk Mengkristenkan kerajaan-kerajaan Bugis
Meskipun kontak awal dengan Islam telah terjadi sejak tahun 1490 melalui hubungan perdagangan antara Siang dan Malaka, sebagian besar masyarakat Bugis masih menganut agama patturioloang asli. Pada tahun 1540, dua bangsawan dari Makassar telah dibaptis di Ternate. Mereka kemudian melakukan kunjungan lain pada tahun berikutnya dan membeli banyak bahan dari wilayah tersebut, termasuk emas, cendana dan senjata besi. Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis, melakukan beberapa perjalanan antara Sulawesi dan Malaka sejak tahun 1542, kemungkinan tertarik oleh potensi kekayaan wilayah tersebut. Selama ekspedisinya ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Suppa’ dan Siang, ia terlibat dalam diskusi teologis dan diminta untuk membaptis La Putebulu, Datu dari Suppa’ dan keluarganya, diikuti oleh raja Siang pada tahun 1544. Baptisan tersebut juga diakhiri dengan aliansi militer dengan kedua kerajaan tersebut.
Kembalinya De Paiva ke Malaka tidak hanya disertai dengan hadiah resmi untuk Kerajaan Portugal, tetapi juga dengan empat pemuda Bugis yang kemudian akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Jesuit di Goa India. Kedua raja Bugis juga meminta para imam dan dukungan militer dari gubernur Portugis Malaka, kemungkinan untuk mengatasi bahaya yang semakin meningkat dari kerajaan-kerajaan Makassar tetangga seperti Gowa-Tallo. Pembaptisan lanjutan dilakukan pada tahun 1545 oleh seorang pastor, Pastor Vicente Viegas, yang terlibat dalam kristenisasi para penguasa Bugis di Alitta dan Bacukiki’. Menurut Manuel Godinho de Erédia, raja-raja Sawitto dan Sidenreng juga ikut serta, semuanya adalah sekutu Suppa’ dalam Aliansi Ajatappareng.
Hubungan dengan Portugis tetap baik hingga sebuah insiden elopement antara seorang perwira Portugis dan putri La Pute Bulu dari Suppa terungkap, di mana mereka menikah secara diam-diam di Malaka, yang kemudian menghasilkan kelahiran Manuel Godinho de Erédia. Kapal Portugis harus segera meninggalkan Sulawesi untuk menghindari kekerasan yang parah, dan mereka tidak berani kembali ke pulau itu hingga tahun 1559. Salah satu anggota perjalanan, Manuel Pinto, memutuskan untuk tetap tinggal di Sulawesi Selatan. Ia mencatat perkembangan politik dan terlibat dalam diskusi dengan beberapa penguasa Bugis-Makassar di wilayah tersebut sebelum kembali ke Malaka (melalui Jawa). Namun, Datu Suppa dan penduduknya, bersama dengan kerajaan-kerajaan Ajatappareng, tetap sebagian besar beragama Kristen menurut Manuel Godinho de Erédia.
Setelah pemulihan hubungan ekonomi dengan Malaka Portugis pada tahun 1559, terdapat permintaan berulang dari Sulawesi Selatan, terutama dari kerajaan-kerajaan Ajatappareng, untuk mendatangkan para imam. Namun, tidak banyak yang tersedia dan Portugis tidak menganggap Bugis sebagai perhatian utama mereka. Baru pada tahun 1584, Portugis mengirim empat biarawan Fransiskan ke daerah tersebut, dan masa tinggal mereka relatif singkat. Nasib dari empat pria Bugis yang dikirim untuk pendidikan di Goa, India juga tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada upaya baru untuk membaptis Sulawesi yang dilakukan setelah periode tersebut, maupun dukungan militer Portugis terhadap invasi oleh Raja Gowa-Tallo, Karaeng Lakiung Tunipalangga, yang menggabungkan dan menundukkan Siang bersama dengan kerajaan-kerajaan Ajatappareng.
Pencarian Prestise, Pengaruh dan Kekuasaan di Semenanjung
Selama pemulihan hubungan Portugis-Sulawesi Selatan pada tahun 1559, dinamika politik di wilayah tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Kerajaan Makassar dan Gowa, telah memperluas pengaruhnya ke utara dan menyerap banyak kerajaan Bugis yang sebelumnya memiliki hubungan ramah dengan Portugis.
Pada saat yang sama, Kerajaan Bone juga memulai ekspansi ke selatan dan segera berhubungan langsung dengan Makassar. Kedua kerajaan ini bersaing untuk menguasai seluruh Semenanjung bersama dengan jalur perdagangan yang penting.
Dengan demikian, kedua kerajaan yang berkembang ini terikat untuk menghadapi konflik besar, dan perang akhirnya pecah pada tahun 1562. Gowa didukung oleh Luwu; dan juga oleh Wajo dan Soppeng, yang keduanya mungkin lebih memilih untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan jauh seperti Luwu atau Gowa, karena hal ini akan memberi mereka otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan kerajaan tetangga seperti Bone, yang kemungkinan akan mendominasi mereka.
Perang berakhir pada tahun 1565 dan perjanjian damai diadakan setelahnya. Kedua kerajaan sepakat pada Sungai Tangka sebagai wilayah pengaruh masing-masing di bawah Perjanjian Caleppa. Warga Bone dan Gowa juga diberikan hak yang sama di wilayah masing-masing.
Ambisi untuk mendominasi terus berlanjut di Sulawesi Selatan. Antara tahun 1570 dan 1591, beberapa operasi militer dilakukan oleh Gowa, seringkali dengan dukungan dari Luwu. Meskipun kekuasaan yang jauh, Gowa cenderung cukup keras terhadap kerajaan Bugis vassalnya, Wajo dan Soppeng, hal ini membuat kedua kerajaan ini cenderung menerima ajakan Bone untuk memulihkan otonomi mereka. Pada tahun 1590, ketiga kerajaan (Wajo, Soppeng, dan Bone) membentuk aliansi yang dikenal sebagai Tellumpoccoe, ‘Tiga Puncak’ atau ‘Tiga Besar’.
Pada tahun 1590, Daeng Mammeta memulai kampanye lain untuk menghancurkan Wajo, tetapi ia terbunuh dalam amuk yang tidak terkendali. Gencatan senjata segera mengikuti pada tahun 1591, dan perundingan damai, di bawah Perjanjian Caleppa, diperbarui
Islamisasi Bugis-Makassar-Mandar
Pada paruh kedua abad ke-16, persaingan antara Islam dan Kekristenan masih belum sepenuhnya terpecahkan di Semenanjung Sulawesi Selatan. Sebagian besar kerajaan di Sulawesi sudah memeluk Islam di bawah pengaruh Ternate-Gorontalo pada tahun 1525 dan Buton pada tahun 1542. Sudah ada individu-individu yang memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1550, komunitas Muslim-Melayu di Makassar diberi hak istimewa oleh penguasa Gowa menurut Lontara Patturioloanga. Namun, pada tahun 1575, selama kunjungan Abdul Makmur (Dato’ ri Bandang), salah satu penyebar Islam dari Minangkabau, ia mencatat bahwa ada beberapa kesulitan untuk mengubah kepercayaan lokal — ketertarikan yang berlebihan terhadap daging babi kering, hati rusa mentah yang dicincang dengan darah (lawa), dan minuman keras dari pohon kelapa. Ia kemudian melanjutkan untuk menyebarkan ajaran Islam di Kerajaan Kutei, Borneo timur, di mana ia lebih sukses. Pada tahun 1580, Sultan Ternate, Babullah, menyarankan penguasa Gowa untuk memeluk ajaran Islam, tetapi sang raja menolak. Namun, sebagai tindakan kebaikan, ia memberi izin kepada komunitas Makassar-Melayu untuk membangun sebuah masjid
Abdul Makmur kembali ke Makassar bersama Sulaiman (Dato’ ri Patimang) dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro). Ketiga orang ini berasal dari Minangkabau dan kemungkinan telah mendapat pendidikan di Aceh, sebelum mereka mengunjungi Johor-Riau untuk mempelajari budaya Sulawesi Selatan dari pelaut Bugis-Makassar, diikuti oleh studi di bawah Wali Songo di Jawa, dalam misi penyebaran yang difasilitasi oleh Sultan Johor. Setelah upaya mereka untuk memperkenalkan ajaran Islam sekali lagi menemui penolakan, mereka berangkat ke Luwu. Hal ini karena Luwu merupakan pusat spiritual Sulawesi Selatan dan kepercayaan pribadinya tentang Dewata SeuwaE memiliki beberapa kesamaan dengan Islam. Mereka berhasil mengkonversi Pati Arase, Datu Luwu, dan pada Februari 1605 ia mengambil nama Sultan Muhammad. Kelompok ini kemudian mengunjungi kembali Makassar dan ketiganya berhasil mempromosikan Islam kepada penguasa Gowa, yang kemudian memeluk Islam dengan nama Sultan Ala’uddin. Pada November 1607, shalat publik pertama kali dilakukan di Masjid Tallo’ yang baru dibangun. Konversi dimulai perlahan dan beradaptasi dengan praktik Ammatoa lokal yang berpusat di Bulukumba.
Kerajaan kembar Gowa dan Tallo mendorong kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk mengikuti langkah mereka dalam memeluk Islam sebagai agama mereka. Ketika undangan ini ditolak, mereka meluncurkan serangkaian tindakan militer yang dikenal sebagai “perang Islam”. Pada tahun 1608, kerajaan-kerajaan di pantai barat seperti Bacukiki’, Suppa’, Sa wino’, dan Mandar; serta di pantai timur, Akkotengeng dan Sakkoli’, menyerah; diikuti dengan penaklukan Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, dan Wajo pada tahun 1610.
Sejalan dengan penyerahan dari kerajaan Bugis Bone pada tahun 1611, sebagian besar Semenanjung Sulawesi Selatan (kecuali dataran tinggi Toraja) telah menerima Islam. Bone, kemudian akan terus menyebarkan Islam ke dua kerajaan vasalnya yang terletak di tepi kerajaan Toraja — yaitu Enrekang dan Duri
Islamisasi di sebagian besar Sulawesi Selatan telah menyediakan platform untuk revolusi keyakinan dan ideologi. Hukum dan prinsip Islam diterapkan dan diserap ke dalam budaya Makassar, Bugis, dan Mandar.
Dato’ ri Bandang mengarahkan pertama-tama pada pendirian prinsip Syariah di wilayah tersebut, dengan penekanan pada pentingnya pelayanan agama pada upacara sunat, pernikahan, dan pemakaman. Namun, dengan pengecualian upacara pemakaman yang sepenuhnya di-Islamkan; upacara lainnya yang berbasis pemahaman Islam hanya diintegrasikan dengan praktik, norma, dan adat tradisional yang sudah ada. Adapun pelanggaran, juga ada penegakan hukum yang kuat terhadap perzinahan dan konsumsi daging babi; perilaku lainnya termasuk mengonsumsi alkohol dan opium, persembahan di tempat suci, penyembahan pada barang-barang kerajaan, peminjaman uang dengan bunga (Riba) dan perjudian juga dikutuk.
Seiring dengan perlunya Islamisasi yang perlahan mengambil akar di masyarakat di semenanjung, masjid dibangun di setiap wilayah. Dengan demikian, posisi-posisi baru dari qadhi, imam, dan khatib diangkat di seluruh wilayah Bugis-Makassar.
Meskipun menjadi Muslim yang taat, proses ini tidak menghalangi Raja Gowa yang Muslim dari Makassar untuk menjaga hubungan baik dengan Portugis dan Kekristenan. Meskipun demikian, wilayah Bugis dan Makassarese menjadi Muslim dan kini dicegah untuk beralih ke Kekristenan oleh penguasa lokal.
Akhir Kekuasaan
Dimulai dari akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19, keseimbangan kekuasaan di Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis akibat serangkaian perubahan radikal dalam pemerintahan lokal, termasuk perselisihan dinasti internal, ketegangan geopolitik, pengaruh sekunder yang berkembang dari konsumerisme Barat dan Kejatuhan Makassar.
Setelah lebih dari satu abad pasca perjuangan monumental antara Gowa dan Bone untuk penguasaan semenanjung, perang lain perlahan-lahan mulai muncul kembali antara dua kekuatan yang bersaing. Konflik ini bermula dari masalah domestik di Kerajaan Bone, yang diperintah dari 1631 hingga 1634 oleh La Maddaremmeng. Raja menerapkan aturan berdasarkan prinsip Islam yang kuat, termasuk menghapus bissu pagan dan melarang konsumsi bir kelapa serta praktik-praktik superstitious lainnya. Titik puncaknya adalah pelarangan perbudakan, yang mengakibatkan pemberontakan oleh Ibu suri. Ia kemudian meminta bantuan Gowa dan operasi militer besar-besaran pun dilakukan. Pasukan Makassar berhasil meraih kemenangan dan menangkap 30.000 tawanan Bugis, termasuk Maddaremmeng dan mengangkat seorang gubernur Makassar. Setelah pemberontakan berikutnya, Bone diubah menjadi koloni penuh. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan rakyat dan bangsawan Bone.
Pada saat yang sama, Belanda juga mulai mengalihkan perhatian mereka ke kota pelabuhan Makassar — sebuah ibukota penting dalam hal perdagangan, kekayaan, basis politik, dan militer di kepulauan timur. Sebaliknya, baik Kerajaan Makassar Gowa maupun Belanda menganggap satu sama lain sebagai ancaman besar terhadap dominasi mereka dalam perdagangan rempah yang sangat menguntungkan.
Kesempatan bagi Bone datang setelah serangan Belanda yang sukses di Makassar pada tahun 1660. Diperlukan untuk menandatangani gencatan senjata yang tidak menguntungkan, orang-orang Gowa meminta 10.000 orang Bone untuk menggali parit secara paksa sebagai pertahanan terhadap kemungkinan serangan dari darat. Beberapa bangsawan Bone, termasuk Arung Palakka, berlindung di Buton dan mengusulkan aliansi Bugis-Belanda melawan Makassar. Aliansi militer ini juga bergabung dengan kerajaan Soppeng, yang, mirip dengan Bone, menganggap serangan ini sebagai tindakan pembalasan terhadap tindakan Gowa yang memperbudak ribuan orang mereka untuk membangun fasilitas di Makassar.
Perang meletus pada tahun 1666, dengan aliansi Bugis-Belanda dibantu oleh pasukan dari Ternate, Ambon dan Buton. Sekutu utama Makassar selama perang adalah kerajaan Bugis utara, Wajo. Meskipun menjadi mitra Bone berdasarkan perjanjian di masa lalu, pemimpin Wajo memutuskan untuk memasuki aliansi dengan Gowa untuk melawan pengaruh Belanda.
Jatuhnya Makassar terbukti fatal. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Ini mengharuskan Makassar untuk menghapus sebagian besar bentengnya, melepaskan perdagangan rempah-rempah, mengakhiri impor barang-barang asing kecuali Belanda, mengusir Portugis dan Eropa non-Belanda lainnya, serta menolak segala bentuk kekuasaan suzerain, baik di tanah Bugis maupun bagian lain di kepulauan. Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin turun dari takhta.
Belanda berhasil mencapai tujuannya setelah jatuhnya Makassar, tetapi mereka bukan satu-satunya pemenang; yang lain adalah Kerajaan Bone, meskipun dengan beberapa pembatasan mengikuti perjanjian yang juga ditandatanganinya, kerajaan ini akan secara efektif mempertahankan kedaulatannya hingga abad ke-19. Oleh karena itu, dalam narasi Bone, Arung Palakka dianggap sebagai pejuang kemerdekaan; sementara dalam warisan Makassar, Sultan Hasanuddin yang bersaing dianggap sebagai pahlawan bagi orang Makassar.
Setelah dibebaskan dari Makassar, kekosongan kekuasaan kemungkinan telah membuka jalan bagi Bone untuk mempertahankan kedaulatan yang tidak tertandingi di seluruh semenanjung. Namun, prospek menyatukan semua tanah Bugis di bawah seorang penguasa tunggal terhenti oleh keberadaan Belanda di wilayah tersebut. Semenanjung kemudian terus bertahan di bawah mosaik berbagai konfederasi kecil dan besar.
Transformasi Perdagangan dan Emigrasi
Salah satu dampak besar setelah penaklukan Makassar adalah perubahan dalam desain navigasi dan rute migrasi di antara masyarakat Sulawesi Selatan. Pelabuhan kosmopolitan Makassar menjadi titik awal maritim yang krusial, tidak hanya bagi orang Makassar, tetapi juga bagi orang Bugis yang mencari kekayaan dan ketenaran di kepulauan barat, karena Belanda memberlakukan pembatasan berat untuk akses mereka ke Kepulauan Rempah-rempah di timur.
Secara bersamaan, selama akhir abad ke-17 dan abad ke-18, muncul periode transformasi yang ditandai dengan pendirian jaringan perdagangan laut yang penting. Migran yang ambisius terlibat dalam usaha luar negeri yang berani, berkontribusi pada kebangkitan bertahap kelas menengah pedagang yang kemudian memegang posisi penting dalam masyarakat Bugis. Pembangunan jaringan perdagangan laut ini meninggalkan dampak yang bertahan lama, membentuk kegiatan ekonomi dan mendorong konektivitas baik di dalam Sulawesi Selatan mereka maupun di wilayah asing. Namun, selama periode ini, mereka juga mengalami renaisans seni dan budaya yang berkembang pesat di tanah air mereka. Banyak karya sastra penting mereka, termasuk sebagian besar produksi pasca-La Galigo, berasal dari masa-masa ini.
Pada awal abad ke-18, orang Bugis secara strategis beraliansi dengan Kesultanan Johor, awalnya bertindak sebagai tentara bayaran selama perjuangan kekuasaan penting melawan Minangkabau yang dipimpin oleh Raja Kecil. Langkah strategis ini menandai titik balik penting, memperkuat posisi mereka dalam inti politik Melayu dan membentuk jalur politik mereka di kepulauan barat.
Selanjutnya, banyak orang Bugis menetap di Kepulauan Riau, dekat dengan istana Johor, menambah kehadiran mereka di wilayah tersebut. Sebagai titik pertemuan krusial antara rute perdagangan regional dan global, mereka meluncurkan pengaruh angkatan laut mereka ke berbagai arah dalam perdagangan dan politik, termasuk Semenanjung Melayu, Singapura, Sumatra, dan pantai barat Kalimantan. Disini mereka menentang Belanda untuk dominasi dalam ekspor penambangan timah. Mereka juga terlibat secara mendalam dalam perselisihan dinasti di antara para raja; dan melalui tindakan bersenjata, tradisi berbasis militer, dan pernikahan politik, mereka menavigasi menjadi salah satu pemain tangguh dalam lingkup politik Melayu. Di daerah ini, keturunan mereka dikenal sebagai Melayu-Bugis.
Zaman Layar juga ditandai dengan gelombang migrasi dan perdagangan yang saling terhubung ke Batavia, pantai utara Java, Bali, Madura, Alor, Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan tenggara, Kepulauan Sulu dan bagian lain dari Sulawesi dalam pencarian kekayaan, prestise dan pengaruh politik
Budaya
Bahasa dan dialek
Bahasa Bugis merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia. Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa utama di belahan barat daya Sulawesi, bersama dengan Makassar, Toraja, Massenrempulu, dan Mandar. Bahasa-bahasa ini secara kolektif termasuk dalam bahasa Sulawesi Selatan.
Penutur bahasa Bugis dominan di sebagian besar kabupaten di Sulawesi Selatan — yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, dan Parepare.Di Bulukumba, Pangkep, dan Maros, populasi penduduk terbagi antara desa-desa penutur Bugis dan Makassar, masing-masing desa mempertahankan identitas bahasa mereka sendiri. Batasan bahasa yang serupa juga terlihat di kota-kota pesisir barat laut Pinrang (di Provinsi Sulawesi Selatan) dan Polmas (di Sulawesi Barat), yang merupakan area transisi antara wilayah budaya Bugis dan Mandar.
Berada di pinggiran dunia Bugis-Toraja, orang Massenrempulu (yang mencakup kelompok Duri, Enrekang, Maiwa, dan Malimpung) dari Enrekang dan utara Pinrang serta penutur Tae’ dari Luwu juga kadang-kadang dianggap dan diterima sebagai sub kelompok dari keluarga Bugis karena tradisi dan afiliasi agama yang sama. Secara budaya, mereka membentuk kontinum antara orang Bugis dan Toraja; secara linguistik, bahasa ibu Massenrempulu dan Tae’ umumnya lebih dekat dengan bahasa Toraja.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam ekspresi lokal dan dialek, varian-varian bahasa Bugis (kecuali Massenrempulu dan Tae’, jika dipertimbangkan) umumnya tetap memiliki tingkat kesalingpahaman yang tinggi satu sama lain. Namun, dalam masyarakat Bugis utama, adalah praktik yang diterima untuk membedakan diri mereka secara regional dan budaya berdasarkan lokasi kerajaan tradisional dan leluhur mereka.
Ada perbedaan halus dalam bahasa yang digunakan di area-area ini, dan ahli bahasa mengidentifikasi varian-varian ini sebagai dialek yang terpisah (bukan bahasa yang berbeda). Saat ini, terdapat sepuluh cabang utama dialek Bugis—Bone, Camba, Pangkep, Sidrap, Pasangkayu, Sinjai, Soppeng, Wajo, Barru, dan Luwu, serta puluhan subdialek kecil yang berasal dari cabang utama. Namun, beberapa peneliti masih berselisih apakah Sawitto — sebuah varian Bugis yang berbeda yang dituturkan di pusat Pinrang — tetap berada dalam kelompok bahasa yang sama atau cukup berbeda untuk dianggap sebagai bahasa yang terpisah
Orang Bugis masa kini umumnya bilingual. Di Sulawesi Selatan, mereka menggunakan dua bahasa utama, yaitu Bugis atau Bahasa Indonesia, disesuaikan dengan lingkungan, lingkaran sosial, dan kegiatan. Bahasa Indonesia umumnya digunakan dalam situasi resmi, sebagai bahasa pendidikan formal, administrasi, media massa, dan sastra modern; Bahasa Indonesia juga umum digunakan saat berkomunikasi dengan penutur non-Bugis. Dalam setting informal dan santai di sekitar lingkaran penutur Bugis, alih kode adalah hal yang umum, atau mencampurkan elemen dari kedua bahasa dalam berbagai derajat, seperti berbicara Bahasa Indonesia dengan elemen yang kuat dari bahasa Bugis dan sebaliknya.Di provinsi Sulawesi Selatan, afiks seperti -ki’, -ko, na-, -ji, -mi, dll. digunakan dalam campuran bahasa Indonesia-Bugis-Makassar. Aksen Bugis-Makassar, yang dikenal sebagai Okkots, juga terlihat dalam penggunaan pengucapan -ng yang lebih kuat dalam beberapa bagian ucapannya. Pola ini tidak terbatas hanya di wilayah Sulawesi Selatan, tetapi juga dapat terdengar di bagian lain Indonesia dengan populasi Bugis yang terlihat. Di luar provinsi, campuran bahasa ini tidak hanya dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, tetapi juga oleh jejak bahasa lokal dan dialek lain yang terintegrasi dengan bahasa Bugis diaspora. Demikian pula, di luar Indonesia, campuran bahasa ini juga dapat terlihat di Malaysia dan Singapura, yang memiliki komunitas Bugis yang cukup besar. Selain dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, komunitas Bugis di negara-negara ini juga dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan dialek lokalnya.
Di luar tanah leluhur mereka di dataran rendah Sulawesi Selatan, bahasa Bugis, dialek, dan campurannya ditemukan di seluruh jaringan diaspora dan enklave etnis di Sulawesi dan seluruh Asia Tenggara Maritim. Namun, saat ini ada kecenderungan pergeseran bahasa yang nyata di antara diaspora di luar Sulawesi Selatan, sehingga pemahaman dan penguasaan bahasa Bugis dapat bervariasi berdasarkan latar belakang pribadi, paparan, minat, dan kontak dengan bahasa leluhur mereka.
Filsafat
Kode Etik Bugis-Makassar-Mandar-Toraja
Bugis-Makassar memiliki warisan yang kaya, filsafat, struktur agama dan sosial. Adat mereka didasarkan pada konsep Pangadereng — yang awalnya terdiri dari Ade (adat), Rapang (Hukum), Bicara (Pengadilan) dan Warik (Sistem sosial); setelah Islamisasi Bugis-Makassar, Syara’ (Syariah) dimasukkan ke dalam nilai-nilai inti mereka.
Kearifan lokal lainnya termasuk Siri’ na pacce. Ini berfungsi sebagai panduan, konvensi sosial, dan perilaku moral. Siri menandakan penggabungan sikap malu dan harga diri, yang berfungsi sebagai pilar yang mendukung pentingnya martabat, kebajikan, penghargaan, solidaritas, dan tanggung jawab. Siri adalah elemen penting agar seseorang dianggap sebagai tau (manusia). Pacce memanifestasikan kehadiran belas kasih dan solidaritas. Ini melibatkan kemampuan seseorang dalam kecerdasan emosional, termasuk cinta, kesedihan, rasa sakit, dan solidaritas. Interpretasi lain dari Pacce berkisar pada pengorbanan diri, kerja keras, dan pengekangan diri. Selain Bugis dan Makassar, etos tradisional ini juga dibagikan oleh kerabat utara mereka — Toraja dan Mandar.
Diterjemahkan sebagai “empat sudut” — Sulapa Eppa mewakili filsafat kuno, ide, dan teori Bugis-Makassar tentang gagasan bahwa alam semesta dibangun dalam bentuk belah ketupat raksasa, yang diciptakan oleh empat dasar utama — angin, api, air, dan tanah. Dengan demikian, estetika, ungkapan, dan nuansa klasik Bugis-Makassar sebagian besar dibuat dan dibayangkan dalam komposisi empat sudut yang dominan; termasuk dalam skrip tulisan tradisional mereka (lontara), tata letak arsitektur, hidangan upacara (songko dan songkolo), desain seni, motif sarung dan nilai-nilai filosofis. Keempat elemen ini juga secara sinonim dikaitkan dengan empat warna berbeda — angin (kuning), api (merah), air (putih), dan tanah (hitam). Selain itu, Lipa’ Sabbe atau sarung sutra (sarung kain yang terbuat dari sutra) melambangkan penghormatan terhadap paradigma budaya Bugis-Makassar yang paling murni
Tinggalkan Balasan