Penulis: admin

  • Suku Bugis Toalean – Pribumi Pra-Austronesia di Sulawesi Selatan

    Suku Bugis Toalean – Pribumi

    Suku Bugis merupakan kelompok etnis Austronesia terbesar di antara tiga kelompok etnolinguistik utama di Sulawesi Selatan, bersama dengan suku Makassar dan Toraja. Sulawesi Selatan terletak di bagian barat daya pulau Sulawesi, pulau terbesar ketiga di Indonesia. Pada tahun 1605, suku Bugis beralih dari kepercayaan animisme ke Islam. Meskipun mayoritas masyarakat Bugis menganut agama Islam, sebagian kecil dari mereka memeluk agama Kristen serta kepercayaan pra-Islam yang dikenal sebagai Tolotang

    Suku Bugis, yang populasinya diperkirakan sekitar enam juta jiwa dan mencakup 2,5% dari total penduduk Indonesia.Secara historis, Suku Bugis dikenal sebagai pelaut dan perantau yang ulung. Selama beberapa abad terakhir, mereka telah menjelajahi dan menetap di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, serta daerah lain yang menjadi tujuan migrasi besar-besaran sejak akhir abad ke-17. Presiden ketiga Indonesia, B. J. Habibie,serta mantan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, memiliki keturunan Bugis. Di Malaysia, Yang di-Pertuan Agong saat ini, Sultan Ibrahim, dan perdana menteri kedelapan, Muhyiddin Yassin, juga memiliki darah keturunan Bugis.

    Sebagian besar orang Bugis berbicara dalam bahasa daerah yang khas, yaitu bahasa Bugis (Basa Ugi), selain menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan, yang juga mencakup bahasa Makassar, Toraja, Mandar dan Massenrempulu. Nama “Bugis” merupakan eksonim yang berasal dari bentuk lama nama tersebut, sedangkan “(To) Ugi” adalah endonim yang digunakan oleh masyarakat Bugis sendiri.

    Asal usul dan latar belakang

    Toalean — Pribumi Pra-Austronesia di Sulawesi Selatan

    Penduduk paling awal di Sulawesi Selatan kemungkinan berhubungan dengan Manusia Wajak yang berasal dari ras Proto-Australoid. Beberapa artefak serpihan ditemukan di lembah Sungai Walanae dan Maros, yang diperkirakan berasal dari antara 40.000 hingga 19.000 SM. Kebudayaan pemburu-pengumpul di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Budaya Toalean, yang didasarkan pada penggunaan alat berupa bilah, serpihan, dan mikrolit. Mereka mungkin berasal dari ras Melanesoid atau Australoid, sehingga berhubungan dengan populasi kontemporer di Papua Nugini atau Australia.

    Pada tahun 2015, sisa-sisa kerangka seorang wanita muda bernama Bessé ditemukan di Leang Panninge, Sulawesi Selatan. Kerangka tersebut diperkirakan berusia lebih dari 7.200 tahun. Setengah dari DNA-nya diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan penduduk asli Australia, masyarakat di Papua Nugini, dan Pasifik Barat, serta menunjukkan adanya garis keturunan manusia yang sebelumnya tidak diketahui, yang bercabang sekitar 37.000 tahun lalu. DNA Bessé memberikan bukti penting dalam memahami migrasi manusia purba

    Kedatangan Austronesia

    Kedatangan orang-orang Austronesia ke Sulawesi Selatan membawa perubahan signifikan dalam sejarah wilayah tersebut. Diperkirakan bahwa mereka tiba sekitar 4.000 tahun yang lalu, membawa serta teknologi bercocok tanam, perahu layar, dan sistem sosial yang lebih kompleks. Orang Austronesia inilah yang kemudian berbaur dengan penduduk asli dan menjadi nenek moyang langsung suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk suku Bugis. Migrasi dan penyebaran budaya mereka memiliki dampak besar terhadap perkembangan bahasa, budaya, serta struktur sosial di wilayah ini.

    Christian Pelras, seorang antropolog, mengajukan hipotesis bahwa proto-Bugis kemungkinan tiba dari luar negeri, mungkin dari Kalimantan, ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka didorong oleh keinginan untuk mengendalikan sumber daya mineral dan alam di daerah pedalaman. Seiring dengan penyebaran mereka ke interior wilayah yang kini dikenal sebagai pusat Bugis, kelompok ini semakin terpisah dari saudara-saudara mereka yang bersebelahan, seperti Suku Makassar, Mandar dan Toraja. Pada saat yang sama, proto-Bugis mulai mengasimilasi suku Austronesia yang sebelumnya berada di daerah yang jarang penduduknya, suatu proses di mana populasi asli secara bertahap mengadopsi bahasa dari pendatang baru. Dengan demikian, terbentuklah identitas hibrida melalui ethnogenesis, yang menggabungkan unsur-unsur asli dari masyarakat pribumi dengan teknik, barang, dan ide baru yang dibawa oleh pemukim baru, termasuk tenun, pengerjaan logam, dan doktrin teologis. Meskipun demikian, masyarakat tetap terbagi antara dua kelas utama, yaitu kaum bangsawan dan rakyat biasa

    Tana Ogi — Tanah Bugis

    Tanah leluhur suku Bugis terletak di sekitar Danau Tempe dan Danau Sidenreng di Depresi Walanae di semenanjung barat daya Sulawesi. Di sinilah nenek moyang suku Bugis saat ini menetap, kemungkinan pada pertengahan hingga akhir milenium kedua SM. Wilayah ini kaya akan ikan dan satwa liar, dan fluktuasi tahunan Danau Tempe (yang merupakan danau penampung untuk sungai Bila dan Walanae) memungkinkan penanaman padi secara spekulatif, sementara perbukitan dapat digunakan untuk bercocok tanam dengan sistem ladang, penanaman padi sawah, serta berburu dan mengumpulkan hasil hutan.

    Sekitar tahun 1200 M, ketersediaan barang-barang impor bergengsi, termasuk keramik Cina dan Asia Tenggara serta tekstil blok cetak dari Gujarat, ditambah dengan penemuan sumber bijih besi baru di Luwu, memicu revolusi agraria. Revolusi ini meluas dari kawasan danau besar ke dataran rendah di timur, selatan, dan barat Depresi Walanae. Proses ini mendorong perkembangan kerajaan-kerajaan utama di Sulawesi Selatan dan transformasi masyarakat adat menjadi proto-kerajaan yang bersifat hierarkis dalam kurun waktu empat ratus tahun berikutnya.

    Sejarah

    Masyarakat Awal

    Gaya hidup masyarakat Bugis kuno sebagian besar dipertahankan oleh masyarakat Toraja yang masih memeluk agama tradisional hingga awal abad ke-20. Rumah mereka umumnya dibangun di atas tiang, dan komunitas-komunitas tersebut cenderung tersebar di sepanjang tepi sungai, pantai, atau tepi danau. Kegiatan utama pada periode ini meliputi bercocok tanam padi, millet, jali dan tanaman pangan lainnya, menangkap ikan dan kerang, memperoleh hasil hutan, serta berburu hewan liar. Kerbau diimpor dan digunakan dalam acara-acara penting.

    Penduduk awal kemungkinan mengenakan pakaian yang sederhana. Wanita kemungkinan memakai rok, sementara pria mengenakan cawat dan mungkin juga penutup kepala. Berdasarkan bukti arkeologis, ditemukan sisa-sisa ornamen dari tembaga dan emas. Kerajinan tembikar terlihat ada, meskipun wadah bambu lebih banyak digunakan bersamaan dengan pisau bambu. Senjata terbuat dari besi dan batu, sementara helm dan perisai terbuat dari rotan.

    Secara teologis, Bugis awal kemungkinan mempraktikkan pemujaan leluhur. Mereka juga memiliki ritual kuno yang berkaitan dengan pertanian dan kesuburan. Umumnya, jenazah dikuburkan, meskipun ada beberapa kasus di mana tubuh jenazah ditempatkan di laut atau danau, atau diletakkan di atas pohon. Praktik pemakaman lainnya termasuk pembakaran, terutama untuk para penguasa.

    Meskipun terletak di komunitas yang jarang penduduknya, mereka tidak hidup dalam isolasi mutlak dari dunia luar. Sebaliknya, perdagangan dan komersial dianggap sangat penting dan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Temuan arkeologis di dekat Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba di Ara mengungkapkan artefak kuno yang berasal dari tahun 300 hingga 100 SM, menunjukkan bahwa bagian selatan Sulawesi memainkan peran integral dalam poros perdagangan maritim Asia Tenggara awal. Terdapat juga jejak keramik dan tembikar Cina serta kerajinan Asia Tenggara daratan yang diimpor ditemukan di pemakaman pra-Islam.

    Namun, berbeda dengan sebagian besar Asia Tenggara, indikasi bahan-bahan Hindu dan Buddha cukup jarang ditemukan dalam budaya Sulawesi Selatan. Sistem tulisan Lontara, beberapa nama dan kata, serta beberapa patung Buddha dari perunggu yang ditemukan di Mandar dan Bantaeng hanya menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan Kepulauan Asia Tenggara barat dan kehadiran orang asing. Meskipun mereka memperoleh manfaat dari hubungan perdagangan tersebut, kemungkinan besar mereka menolak asimilasi budaya eksternal. Dengan demikian, elemen-elemen luar hampir tidak mempengaruhi perkembangan agama asli dan kerajaan-kerajaan adat di wilayah tersebut

    Intensitas perdagangan awal menyebabkan perubahan bertahap dalam hal pengembangan ekonomi, struktur sosial dan kepentingan politik di antara masyarakat Sulawesi Selatan, yang secara mendasar menyebabkan kemunculan dan perkembangan kerajaan, dinasti dan politik Bugis

    Pertumbuhan Kerajaan Bugis

    Kemajuan aktivitas perdagangan antar-pulau dan meningkatnya interaksi dengan Jalur Sutra Maritim kemungkinan merupakan faktor utama yang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi bagi beberapa komoditas utama di Sulawesi Selatan. Periode antara tahun 1200 dan 1600 menyaksikan perubahan radikal dalam lanskap politik Semenanjung Selatan, Sulawesi.

    Perdagangan di Sulawesi Selatan didasarkan pada ekspor barang langka, sebuah usaha yang dengan mudah dikuasai oleh kelas pemerintahan eksklusif. Struktur administratifnya cukup dasar, sebagian besar kerajaan bagian berbentuk kepemimpinan lokal yang kecil.Populasi yang kecil sudah memadai untuk membantu elit dengan penyediaan makanan, kerja fisik, dan bantuan militer untuk menjaga kemerdekaan kerajaan mereka.

    Namun, pada abad ke-15, terjadi revolusi ekonomi besar, dan pertanian menjadi dasar ekonomi yang penting.Untuk melanjutkan kekuasaan mereka dalam masyarakat agraris, para elit penguasa kini diharuskan untuk menangani pertumbuhan yang hampir tanpa precedent di wilayah penghasil beras guna mengakomodasi ledakan populasi yang signifikan. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan perubahan ekonomi dan sosial, diperlukan sistem dan perantara baru.

    Perdagangan dan komersial tetap mempertahankan kepentingan esensialnya bagi ekonomi Sulawesi Selatan. Beras menjadi sumber utama ekspor, dan pada saat yang sama, ekonomi didorong oleh impor barang-barang prestisius dari bagian lain kepulauan. Wilayah ini kemungkinan mengalami pertumbuhan luar biasa seiring dengan kemunculan Malaka sebagai entrepot regional. Sebaliknya, kekayaan keluarga elit di Sulawesi Selatan juga meningkat akibat transaksi komersial intensif ini, meskipun perdagangan kini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber kekayaan mereka.

    Kemunculan Kekuatan Politik Baru di Semenanjung

    Pada abad ke-1500, Luwu merupakan kekuatan politik utama Bugis, dengan kekuasaan di seluruh bagian besar semenanjung. Meskipun demikian, pemain geopolitik baru yang akan menentang dominasinya sudah mulai terbentuk pada akhir abad tersebut.

    Dampak dari kebangkitan Malaka lebih terlihat di pesisir barat Sulawesi Selatan, wilayah dengan konsentrasi tinggi Melayu dan pedagang Minangkabau yang datang dari barat. Hal ini secara perlahan menarik perhatian kerajaan-kerajaan Soppeng dan Sidenreng, yang berusaha memasukkan wilayah tersebut dalam ekspansi teritorial mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis ini telah kehilangan akses langsung ke laut di pesisir barat akibat kekuasaan Luwu.

    Sidenreng, sebagai wilayah bawahan di bawah kekuasaan Soppeng, perlahan-lahan tumbuh menjadi penting dan tampaknya mulai menolak dominasi Luwu di wilayah tersebut. Bekerja sama dengan beberapa kerajaan Bugis di pesisir barat — Sawitto’, Alitta, Suppa’, dan Bacukiki’; serta Rappang di pedalaman, mereka membentuk konfederasi longgar yang dikenal sebagai Ajatappareng (‘tanah di barat danau’).

    Sebaliknya, wilayah Bugis tetangga Wajo juga memiliki aspirasi untuk otonomi terhadap Luwu, dan mulai memperluas pengaruh serta dominasinya di wilayah sekitarnya. Pada tahun 1490, mereka memasuki perjanjian dengan Luwu, yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi dianggap sebagai “pelayan” tetapi sebagai “anak Luwu”. Pada tahun 1498, orang Wajo mengangkat Arung Matoa Puang ri Maggalatung sebagai penguasa mereka, yang kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu Kerajaan Bugis utama.

    Di pesisir barat daya, Kerajaan Bugis Bone di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua’ (sekitar 1433–83) juga melaksanakan rencana ekspansi untuk menyerap sebagian wilayah Luwu ke dalam kekuasaan vasalnya. Akibatnya, dua abad kemudian, wilayah tersebut menjadi area konfrontasi intens antara kedua kerajaan.

    Sementara itu, Makassar, yang secara tradisional mendiami bagian selatan dalam-dalam dan pesisir barat semenanjung, terutama memusatkan kekuasaan politik mereka di Siang dan Bantaeng (yang terakhir mungkin masih berada di bawah kontrol nominal Luwu). Namun, kerajaan kembar Gowa dan Tallo (lebih dikenal oleh orang asing sebagai Kerajaan Makassar) mulai memperoleh pentingnya selama periode ini

    Masyarakat Bugis-Makassar pada Abad ke-16

    Pada abad ke-16, kehidupan Bugis ditandai dengan meningkatnya toleransi terhadap pengaruh asing. Produk-produk dari luar negeri tidak lagi terbatas pada kelas penguasa, tetapi juga mulai tersedia di kalangan rakyat biasa. Metode pembangunan rumah tetap tidak berubah. Sketsa dari beberapa sumber Barat pada paruh pertama abad ke-17 menggambarkan rumah-rumah kayu tinggi dan kokoh yang dibangun di atas tiang.

    Namun, di dalam rumah-rumah yang lebih kaya, beberapa perabot asing seperti meja dan kursi mulai muncul, dan bukaan dinding dasar kadang-kadang berubah menjadi jendela yang dilengkapi dengan pintu geser. Nama-nama Bugis untuk benda-benda ini menunjukkan koneksi Portugis mereka, seperti Jendela (jendela) yang berasal dari Janela, Kadera (kursi) dari Cadeira; dan Mejang (meja) dari Mesa. Perubahan bertahap juga terlihat dalam alat-alat rumah tangga dan peralatan, termasuk gelas serta jug dan nampan bergaya Iberia. Selain itu, beberapa permainan Portugis seperti dadu, permainan kartu, dan kelereng juga diadopsi. Orang Portugis dan Spanyol juga memperkenalkan makanan dan hasil produksi baru dalam diet lokal, terutama dari Tanaman Dunia Baru: ubi jalar dan tembakau, serta barang-barang penting lainnya — ubi kayu, jagung, dan cabai.

    Selama periode ini, wanita mengenakan celana panjang longgar; penggunaan tunik pendek dan lengan juga terlihat pada wanita menikah yang bebas. Untuk pria yang kaya, terdapat kecenderungan terhadap penggunaan kemeja dan topi bergaya Barat; terkadang dipadukan dengan buluh, dan jaket. Kelas budak dan pria biasa biasanya mengenakan pakaian tanpa atasan.

    Upaya Awal untuk Mengkristenkan kerajaan-kerajaan Bugis

    Meskipun kontak awal dengan Islam telah terjadi sejak tahun 1490 melalui hubungan perdagangan antara Siang dan Malaka, sebagian besar masyarakat Bugis masih menganut agama patturioloang asli. Pada tahun 1540, dua bangsawan dari Makassar telah dibaptis di Ternate. Mereka kemudian melakukan kunjungan lain pada tahun berikutnya dan membeli banyak bahan dari wilayah tersebut, termasuk emas, cendana dan senjata besi. Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis, melakukan beberapa perjalanan antara Sulawesi dan Malaka sejak tahun 1542, kemungkinan tertarik oleh potensi kekayaan wilayah tersebut. Selama ekspedisinya ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Suppa’ dan Siang, ia terlibat dalam diskusi teologis dan diminta untuk membaptis La Putebulu, Datu dari Suppa’ dan keluarganya, diikuti oleh raja Siang pada tahun 1544. Baptisan tersebut juga diakhiri dengan aliansi militer dengan kedua kerajaan tersebut.

    Kembalinya De Paiva ke Malaka tidak hanya disertai dengan hadiah resmi untuk Kerajaan Portugal, tetapi juga dengan empat pemuda Bugis yang kemudian akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Jesuit di Goa India. Kedua raja Bugis juga meminta para imam dan dukungan militer dari gubernur Portugis Malaka, kemungkinan untuk mengatasi bahaya yang semakin meningkat dari kerajaan-kerajaan Makassar tetangga seperti Gowa-Tallo. Pembaptisan lanjutan dilakukan pada tahun 1545 oleh seorang pastor, Pastor Vicente Viegas, yang terlibat dalam kristenisasi para penguasa Bugis di Alitta dan Bacukiki’. Menurut Manuel Godinho de Erédia, raja-raja Sawitto dan Sidenreng juga ikut serta, semuanya adalah sekutu Suppa’ dalam Aliansi Ajatappareng.

    Hubungan dengan Portugis tetap baik hingga sebuah insiden elopement antara seorang perwira Portugis dan putri La Pute Bulu dari Suppa terungkap, di mana mereka menikah secara diam-diam di Malaka, yang kemudian menghasilkan kelahiran Manuel Godinho de Erédia. Kapal Portugis harus segera meninggalkan Sulawesi untuk menghindari kekerasan yang parah, dan mereka tidak berani kembali ke pulau itu hingga tahun 1559. Salah satu anggota perjalanan, Manuel Pinto, memutuskan untuk tetap tinggal di Sulawesi Selatan. Ia mencatat perkembangan politik dan terlibat dalam diskusi dengan beberapa penguasa Bugis-Makassar di wilayah tersebut sebelum kembali ke Malaka (melalui Jawa). Namun, Datu Suppa dan penduduknya, bersama dengan kerajaan-kerajaan Ajatappareng, tetap sebagian besar beragama Kristen menurut Manuel Godinho de Erédia.

    Setelah pemulihan hubungan ekonomi dengan Malaka Portugis pada tahun 1559, terdapat permintaan berulang dari Sulawesi Selatan, terutama dari kerajaan-kerajaan Ajatappareng, untuk mendatangkan para imam. Namun, tidak banyak yang tersedia dan Portugis tidak menganggap Bugis sebagai perhatian utama mereka. Baru pada tahun 1584, Portugis mengirim empat biarawan Fransiskan ke daerah tersebut, dan masa tinggal mereka relatif singkat. Nasib dari empat pria Bugis yang dikirim untuk pendidikan di Goa, India juga tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada upaya baru untuk membaptis Sulawesi yang dilakukan setelah periode tersebut, maupun dukungan militer Portugis terhadap invasi oleh Raja Gowa-Tallo, Karaeng Lakiung Tunipalangga, yang menggabungkan dan menundukkan Siang bersama dengan kerajaan-kerajaan Ajatappareng.

    Pencarian Prestise, Pengaruh dan Kekuasaan di Semenanjung

    Selama pemulihan hubungan Portugis-Sulawesi Selatan pada tahun 1559, dinamika politik di wilayah tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Kerajaan Makassar dan Gowa, telah memperluas pengaruhnya ke utara dan menyerap banyak kerajaan Bugis yang sebelumnya memiliki hubungan ramah dengan Portugis.

    Pada saat yang sama, Kerajaan Bone juga memulai ekspansi ke selatan dan segera berhubungan langsung dengan Makassar. Kedua kerajaan ini bersaing untuk menguasai seluruh Semenanjung bersama dengan jalur perdagangan yang penting.

    Dengan demikian, kedua kerajaan yang berkembang ini terikat untuk menghadapi konflik besar, dan perang akhirnya pecah pada tahun 1562. Gowa didukung oleh Luwu; dan juga oleh Wajo dan Soppeng, yang keduanya mungkin lebih memilih untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan jauh seperti Luwu atau Gowa, karena hal ini akan memberi mereka otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan kerajaan tetangga seperti Bone, yang kemungkinan akan mendominasi mereka.

    Perang berakhir pada tahun 1565 dan perjanjian damai diadakan setelahnya. Kedua kerajaan sepakat pada Sungai Tangka sebagai wilayah pengaruh masing-masing di bawah Perjanjian Caleppa. Warga Bone dan Gowa juga diberikan hak yang sama di wilayah masing-masing.

    Ambisi untuk mendominasi terus berlanjut di Sulawesi Selatan. Antara tahun 1570 dan 1591, beberapa operasi militer dilakukan oleh Gowa, seringkali dengan dukungan dari Luwu. Meskipun kekuasaan yang jauh, Gowa cenderung cukup keras terhadap kerajaan Bugis vassalnya, Wajo dan Soppeng, hal ini membuat kedua kerajaan ini cenderung menerima ajakan Bone untuk memulihkan otonomi mereka. Pada tahun 1590, ketiga kerajaan (Wajo, Soppeng, dan Bone) membentuk aliansi yang dikenal sebagai Tellumpoccoe, ‘Tiga Puncak’ atau ‘Tiga Besar’.

    Pada tahun 1590, Daeng Mammeta memulai kampanye lain untuk menghancurkan Wajo, tetapi ia terbunuh dalam amuk yang tidak terkendali. Gencatan senjata segera mengikuti pada tahun 1591, dan perundingan damai, di bawah Perjanjian Caleppa, diperbarui

    Islamisasi Bugis-Makassar-Mandar

    Pada paruh kedua abad ke-16, persaingan antara Islam dan Kekristenan masih belum sepenuhnya terpecahkan di Semenanjung Sulawesi Selatan. Sebagian besar kerajaan di Sulawesi sudah memeluk Islam di bawah pengaruh Ternate-Gorontalo pada tahun 1525 dan Buton pada tahun 1542. Sudah ada individu-individu yang memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan.

    Pada tahun 1550, komunitas Muslim-Melayu di Makassar diberi hak istimewa oleh penguasa Gowa menurut Lontara Patturioloanga. Namun, pada tahun 1575, selama kunjungan Abdul Makmur (Dato’ ri Bandang), salah satu penyebar Islam dari Minangkabau, ia mencatat bahwa ada beberapa kesulitan untuk mengubah kepercayaan lokal — ketertarikan yang berlebihan terhadap daging babi kering, hati rusa mentah yang dicincang dengan darah (lawa), dan minuman keras dari pohon kelapa. Ia kemudian melanjutkan untuk menyebarkan ajaran Islam di Kerajaan Kutei, Borneo timur, di mana ia lebih sukses. Pada tahun 1580, Sultan Ternate, Babullah, menyarankan penguasa Gowa untuk memeluk ajaran Islam, tetapi sang raja menolak. Namun, sebagai tindakan kebaikan, ia memberi izin kepada komunitas Makassar-Melayu untuk membangun sebuah masjid

    Abdul Makmur kembali ke Makassar bersama Sulaiman (Dato’ ri Patimang) dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro). Ketiga orang ini berasal dari Minangkabau dan kemungkinan telah mendapat pendidikan di Aceh, sebelum mereka mengunjungi Johor-Riau untuk mempelajari budaya Sulawesi Selatan dari pelaut Bugis-Makassar, diikuti oleh studi di bawah Wali Songo di Jawa, dalam misi penyebaran yang difasilitasi oleh Sultan Johor. Setelah upaya mereka untuk memperkenalkan ajaran Islam sekali lagi menemui penolakan, mereka berangkat ke Luwu. Hal ini karena Luwu merupakan pusat spiritual Sulawesi Selatan dan kepercayaan pribadinya tentang Dewata SeuwaE memiliki beberapa kesamaan dengan Islam. Mereka berhasil mengkonversi Pati Arase, Datu Luwu, dan pada Februari 1605 ia mengambil nama Sultan Muhammad. Kelompok ini kemudian mengunjungi kembali Makassar dan ketiganya berhasil mempromosikan Islam kepada penguasa Gowa, yang kemudian memeluk Islam dengan nama Sultan Ala’uddin. Pada November 1607, shalat publik pertama kali dilakukan di Masjid Tallo’ yang baru dibangun. Konversi dimulai perlahan dan beradaptasi dengan praktik Ammatoa lokal yang berpusat di Bulukumba.

    Kerajaan kembar Gowa dan Tallo mendorong kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk mengikuti langkah mereka dalam memeluk Islam sebagai agama mereka. Ketika undangan ini ditolak, mereka meluncurkan serangkaian tindakan militer yang dikenal sebagai “perang Islam”. Pada tahun 1608, kerajaan-kerajaan di pantai barat seperti Bacukiki’, Suppa’, Sa wino’, dan Mandar; serta di pantai timur, Akkotengeng dan Sakkoli’, menyerah; diikuti dengan penaklukan Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, dan Wajo pada tahun 1610.

    Sejalan dengan penyerahan dari kerajaan Bugis Bone pada tahun 1611, sebagian besar Semenanjung Sulawesi Selatan (kecuali dataran tinggi Toraja) telah menerima Islam. Bone, kemudian akan terus menyebarkan Islam ke dua kerajaan vasalnya yang terletak di tepi kerajaan Toraja — yaitu Enrekang dan Duri

    Islamisasi di sebagian besar Sulawesi Selatan telah menyediakan platform untuk revolusi keyakinan dan ideologi. Hukum dan prinsip Islam diterapkan dan diserap ke dalam budaya Makassar, Bugis, dan Mandar.

    Dato’ ri Bandang mengarahkan pertama-tama pada pendirian prinsip Syariah di wilayah tersebut, dengan penekanan pada pentingnya pelayanan agama pada upacara sunat, pernikahan, dan pemakaman. Namun, dengan pengecualian upacara pemakaman yang sepenuhnya di-Islamkan; upacara lainnya yang berbasis pemahaman Islam hanya diintegrasikan dengan praktik, norma, dan adat tradisional yang sudah ada. Adapun pelanggaran, juga ada penegakan hukum yang kuat terhadap perzinahan dan konsumsi daging babi; perilaku lainnya termasuk mengonsumsi alkohol dan opium, persembahan di tempat suci, penyembahan pada barang-barang kerajaan, peminjaman uang dengan bunga (Riba) dan perjudian juga dikutuk.

    Seiring dengan perlunya Islamisasi yang perlahan mengambil akar di masyarakat di semenanjung, masjid dibangun di setiap wilayah. Dengan demikian, posisi-posisi baru dari qadhi, imam, dan khatib diangkat di seluruh wilayah Bugis-Makassar.

    Meskipun menjadi Muslim yang taat, proses ini tidak menghalangi Raja Gowa yang Muslim dari Makassar untuk menjaga hubungan baik dengan Portugis dan Kekristenan. Meskipun demikian, wilayah Bugis dan Makassarese menjadi Muslim dan kini dicegah untuk beralih ke Kekristenan oleh penguasa lokal.

    Akhir Kekuasaan

    Dimulai dari akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19, keseimbangan kekuasaan di Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis akibat serangkaian perubahan radikal dalam pemerintahan lokal, termasuk perselisihan dinasti internal, ketegangan geopolitik, pengaruh sekunder yang berkembang dari konsumerisme Barat dan Kejatuhan Makassar.

    Setelah lebih dari satu abad pasca perjuangan monumental antara Gowa dan Bone untuk penguasaan semenanjung, perang lain perlahan-lahan mulai muncul kembali antara dua kekuatan yang bersaing. Konflik ini bermula dari masalah domestik di Kerajaan Bone, yang diperintah dari 1631 hingga 1634 oleh La Maddaremmeng. Raja menerapkan aturan berdasarkan prinsip Islam yang kuat, termasuk menghapus bissu pagan dan melarang konsumsi bir kelapa serta praktik-praktik superstitious lainnya. Titik puncaknya adalah pelarangan perbudakan, yang mengakibatkan pemberontakan oleh Ibu suri. Ia kemudian meminta bantuan Gowa dan operasi militer besar-besaran pun dilakukan. Pasukan Makassar berhasil meraih kemenangan dan menangkap 30.000 tawanan Bugis, termasuk Maddaremmeng dan mengangkat seorang gubernur Makassar. Setelah pemberontakan berikutnya, Bone diubah menjadi koloni penuh. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan rakyat dan bangsawan Bone.

    Pada saat yang sama, Belanda juga mulai mengalihkan perhatian mereka ke kota pelabuhan Makassar — sebuah ibukota penting dalam hal perdagangan, kekayaan, basis politik, dan militer di kepulauan timur. Sebaliknya, baik Kerajaan Makassar Gowa maupun Belanda menganggap satu sama lain sebagai ancaman besar terhadap dominasi mereka dalam perdagangan rempah yang sangat menguntungkan.

    Kesempatan bagi Bone datang setelah serangan Belanda yang sukses di Makassar pada tahun 1660. Diperlukan untuk menandatangani gencatan senjata yang tidak menguntungkan, orang-orang Gowa meminta 10.000 orang Bone untuk menggali parit secara paksa sebagai pertahanan terhadap kemungkinan serangan dari darat. Beberapa bangsawan Bone, termasuk Arung Palakka, berlindung di Buton dan mengusulkan aliansi Bugis-Belanda melawan Makassar. Aliansi militer ini juga bergabung dengan kerajaan Soppeng, yang, mirip dengan Bone, menganggap serangan ini sebagai tindakan pembalasan terhadap tindakan Gowa yang memperbudak ribuan orang mereka untuk membangun fasilitas di Makassar.

    Perang meletus pada tahun 1666, dengan aliansi Bugis-Belanda dibantu oleh pasukan dari Ternate, Ambon dan Buton. Sekutu utama Makassar selama perang adalah kerajaan Bugis utara, Wajo. Meskipun menjadi mitra Bone berdasarkan perjanjian di masa lalu, pemimpin Wajo memutuskan untuk memasuki aliansi dengan Gowa untuk melawan pengaruh Belanda.

    Jatuhnya Makassar terbukti fatal. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Ini mengharuskan Makassar untuk menghapus sebagian besar bentengnya, melepaskan perdagangan rempah-rempah, mengakhiri impor barang-barang asing kecuali Belanda, mengusir Portugis dan Eropa non-Belanda lainnya, serta menolak segala bentuk kekuasaan suzerain, baik di tanah Bugis maupun bagian lain di kepulauan. Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin turun dari takhta.

    Belanda berhasil mencapai tujuannya setelah jatuhnya Makassar, tetapi mereka bukan satu-satunya pemenang; yang lain adalah Kerajaan Bone, meskipun dengan beberapa pembatasan mengikuti perjanjian yang juga ditandatanganinya, kerajaan ini akan secara efektif mempertahankan kedaulatannya hingga abad ke-19. Oleh karena itu, dalam narasi Bone, Arung Palakka dianggap sebagai pejuang kemerdekaan; sementara dalam warisan Makassar, Sultan Hasanuddin yang bersaing dianggap sebagai pahlawan bagi orang Makassar.

    Setelah dibebaskan dari Makassar, kekosongan kekuasaan kemungkinan telah membuka jalan bagi Bone untuk mempertahankan kedaulatan yang tidak tertandingi di seluruh semenanjung. Namun, prospek menyatukan semua tanah Bugis di bawah seorang penguasa tunggal terhenti oleh keberadaan Belanda di wilayah tersebut. Semenanjung kemudian terus bertahan di bawah mosaik berbagai konfederasi kecil dan besar.

    Transformasi Perdagangan dan Emigrasi

    Salah satu dampak besar setelah penaklukan Makassar adalah perubahan dalam desain navigasi dan rute migrasi di antara masyarakat Sulawesi Selatan. Pelabuhan kosmopolitan Makassar menjadi titik awal maritim yang krusial, tidak hanya bagi orang Makassar, tetapi juga bagi orang Bugis yang mencari kekayaan dan ketenaran di kepulauan barat, karena Belanda memberlakukan pembatasan berat untuk akses mereka ke Kepulauan Rempah-rempah di timur.

    Secara bersamaan, selama akhir abad ke-17 dan abad ke-18, muncul periode transformasi yang ditandai dengan pendirian jaringan perdagangan laut yang penting. Migran yang ambisius terlibat dalam usaha luar negeri yang berani, berkontribusi pada kebangkitan bertahap kelas menengah pedagang yang kemudian memegang posisi penting dalam masyarakat Bugis. Pembangunan jaringan perdagangan laut ini meninggalkan dampak yang bertahan lama, membentuk kegiatan ekonomi dan mendorong konektivitas baik di dalam Sulawesi Selatan mereka maupun di wilayah asing. Namun, selama periode ini, mereka juga mengalami renaisans seni dan budaya yang berkembang pesat di tanah air mereka. Banyak karya sastra penting mereka, termasuk sebagian besar produksi pasca-La Galigo, berasal dari masa-masa ini.

    Pada awal abad ke-18, orang Bugis secara strategis beraliansi dengan Kesultanan Johor, awalnya bertindak sebagai tentara bayaran selama perjuangan kekuasaan penting melawan Minangkabau yang dipimpin oleh Raja Kecil. Langkah strategis ini menandai titik balik penting, memperkuat posisi mereka dalam inti politik Melayu dan membentuk jalur politik mereka di kepulauan barat.

    Selanjutnya, banyak orang Bugis menetap di Kepulauan Riau, dekat dengan istana Johor, menambah kehadiran mereka di wilayah tersebut. Sebagai titik pertemuan krusial antara rute perdagangan regional dan global, mereka meluncurkan pengaruh angkatan laut mereka ke berbagai arah dalam perdagangan dan politik, termasuk Semenanjung Melayu, Singapura, Sumatra, dan pantai barat Kalimantan. Disini mereka menentang Belanda untuk dominasi dalam ekspor penambangan timah. Mereka juga terlibat secara mendalam dalam perselisihan dinasti di antara para raja; dan melalui tindakan bersenjata, tradisi berbasis militer, dan pernikahan politik, mereka menavigasi menjadi salah satu pemain tangguh dalam lingkup politik Melayu. Di daerah ini, keturunan mereka dikenal sebagai Melayu-Bugis.

    Zaman Layar juga ditandai dengan gelombang migrasi dan perdagangan yang saling terhubung ke Batavia, pantai utara Java, Bali, Madura, Alor, Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan tenggara, Kepulauan Sulu dan bagian lain dari Sulawesi dalam pencarian kekayaan, prestise dan pengaruh politik

    Budaya

    Bahasa dan dialek

    Bahasa Bugis merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia. Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa utama di belahan barat daya Sulawesi, bersama dengan Makassar, Toraja, Massenrempulu, dan Mandar. Bahasa-bahasa ini secara kolektif termasuk dalam bahasa Sulawesi Selatan.

    Penutur bahasa Bugis dominan di sebagian besar kabupaten di Sulawesi Selatan — yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, dan Parepare.Di Bulukumba, Pangkep, dan Maros, populasi penduduk terbagi antara desa-desa penutur Bugis dan Makassar, masing-masing desa mempertahankan identitas bahasa mereka sendiri. Batasan bahasa yang serupa juga terlihat di kota-kota pesisir barat laut Pinrang (di Provinsi Sulawesi Selatan) dan Polmas (di Sulawesi Barat), yang merupakan area transisi antara wilayah budaya Bugis dan Mandar.

    Berada di pinggiran dunia Bugis-Toraja, orang Massenrempulu (yang mencakup kelompok Duri, Enrekang, Maiwa, dan Malimpung) dari Enrekang dan utara Pinrang serta penutur Tae’ dari Luwu juga kadang-kadang dianggap dan diterima sebagai sub kelompok dari keluarga Bugis karena tradisi dan afiliasi agama yang sama. Secara budaya, mereka membentuk kontinum antara orang Bugis dan Toraja; secara linguistik, bahasa ibu Massenrempulu dan Tae’ umumnya lebih dekat dengan bahasa Toraja.

    Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam ekspresi lokal dan dialek, varian-varian bahasa Bugis (kecuali Massenrempulu dan Tae’, jika dipertimbangkan) umumnya tetap memiliki tingkat kesalingpahaman yang tinggi satu sama lain. Namun, dalam masyarakat Bugis utama, adalah praktik yang diterima untuk membedakan diri mereka secara regional dan budaya berdasarkan lokasi kerajaan tradisional dan leluhur mereka.

    Ada perbedaan halus dalam bahasa yang digunakan di area-area ini, dan ahli bahasa mengidentifikasi varian-varian ini sebagai dialek yang terpisah (bukan bahasa yang berbeda). Saat ini, terdapat sepuluh cabang utama dialek Bugis—Bone, Camba, Pangkep, Sidrap, Pasangkayu, Sinjai, Soppeng, Wajo, Barru, dan Luwu, serta puluhan subdialek kecil yang berasal dari cabang utama. Namun, beberapa peneliti masih berselisih apakah Sawitto — sebuah varian Bugis yang berbeda yang dituturkan di pusat Pinrang — tetap berada dalam kelompok bahasa yang sama atau cukup berbeda untuk dianggap sebagai bahasa yang terpisah

    Orang Bugis masa kini umumnya bilingual. Di Sulawesi Selatan, mereka menggunakan dua bahasa utama, yaitu Bugis atau Bahasa Indonesia, disesuaikan dengan lingkungan, lingkaran sosial, dan kegiatan. Bahasa Indonesia umumnya digunakan dalam situasi resmi, sebagai bahasa pendidikan formal, administrasi, media massa, dan sastra modern; Bahasa Indonesia juga umum digunakan saat berkomunikasi dengan penutur non-Bugis. Dalam setting informal dan santai di sekitar lingkaran penutur Bugis, alih kode adalah hal yang umum, atau mencampurkan elemen dari kedua bahasa dalam berbagai derajat, seperti berbicara Bahasa Indonesia dengan elemen yang kuat dari bahasa Bugis dan sebaliknya.Di provinsi Sulawesi Selatan, afiks seperti -ki’, -ko, na-, -ji, -mi, dll. digunakan dalam campuran bahasa Indonesia-Bugis-Makassar. Aksen Bugis-Makassar, yang dikenal sebagai Okkots, juga terlihat dalam penggunaan pengucapan -ng yang lebih kuat dalam beberapa bagian ucapannya. Pola ini tidak terbatas hanya di wilayah Sulawesi Selatan, tetapi juga dapat terdengar di bagian lain Indonesia dengan populasi Bugis yang terlihat. Di luar provinsi, campuran bahasa ini tidak hanya dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, tetapi juga oleh jejak bahasa lokal dan dialek lain yang terintegrasi dengan bahasa Bugis diaspora. Demikian pula, di luar Indonesia, campuran bahasa ini juga dapat terlihat di Malaysia dan Singapura, yang memiliki komunitas Bugis yang cukup besar. Selain dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, komunitas Bugis di negara-negara ini juga dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan dialek lokalnya.

    Di luar tanah leluhur mereka di dataran rendah Sulawesi Selatan, bahasa Bugis, dialek, dan campurannya ditemukan di seluruh jaringan diaspora dan enklave etnis di Sulawesi dan seluruh Asia Tenggara Maritim. Namun, saat ini ada kecenderungan pergeseran bahasa yang nyata di antara diaspora di luar Sulawesi Selatan, sehingga pemahaman dan penguasaan bahasa Bugis dapat bervariasi berdasarkan latar belakang pribadi, paparan, minat, dan kontak dengan bahasa leluhur mereka.

    Filsafat

     Kode Etik Bugis-Makassar-Mandar-Toraja

    Bugis-Makassar memiliki warisan yang kaya, filsafat, struktur agama dan sosial. Adat mereka didasarkan pada konsep Pangadereng — yang awalnya terdiri dari Ade (adat), Rapang (Hukum), Bicara (Pengadilan) dan Warik (Sistem sosial); setelah Islamisasi Bugis-Makassar, Syara’ (Syariah) dimasukkan ke dalam nilai-nilai inti mereka.

    Kearifan lokal lainnya termasuk Siri’ na pacce. Ini berfungsi sebagai panduan, konvensi sosial, dan perilaku moral. Siri menandakan penggabungan sikap malu dan harga diri, yang berfungsi sebagai pilar yang mendukung pentingnya martabat, kebajikan, penghargaan, solidaritas, dan tanggung jawab. Siri adalah elemen penting agar seseorang dianggap sebagai tau (manusia). Pacce memanifestasikan kehadiran belas kasih dan solidaritas. Ini melibatkan kemampuan seseorang dalam kecerdasan emosional, termasuk cinta, kesedihan, rasa sakit, dan solidaritas. Interpretasi lain dari Pacce berkisar pada pengorbanan diri, kerja keras, dan pengekangan diri. Selain Bugis dan Makassar, etos tradisional ini juga dibagikan oleh kerabat utara mereka — Toraja dan Mandar.

    Diterjemahkan sebagai “empat sudut” — Sulapa Eppa mewakili filsafat kuno, ide, dan teori Bugis-Makassar tentang gagasan bahwa alam semesta dibangun dalam bentuk belah ketupat raksasa, yang diciptakan oleh empat dasar utama — angin, api, air, dan tanah. Dengan demikian, estetika, ungkapan, dan nuansa klasik Bugis-Makassar sebagian besar dibuat dan dibayangkan dalam komposisi empat sudut yang dominan; termasuk dalam skrip tulisan tradisional mereka (lontara), tata letak arsitektur, hidangan upacara (songko dan songkolo), desain seni, motif sarung dan nilai-nilai filosofis. Keempat elemen ini juga secara sinonim dikaitkan dengan empat warna berbeda — angin (kuning), api (merah), air (putih), dan tanah (hitam). Selain itu, Lipa’ Sabbe atau sarung sutra (sarung kain yang terbuat dari sutra) melambangkan penghormatan terhadap paradigma budaya Bugis-Makassar yang paling murni

  • Suku Toraja Yang Menetap Di Pegunungan

    Suku Toraja Yang Menetap Di Pegunungan

    Suku Toraja adalah sebuah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa (di Mamasa disebut juga sebagai suku Mamasa). Mayoritas suku Toraja memeluk Kekristenan, sebagian masih menganut agama asli Aluk Todolo, dan sebagian lagi menganut Islam. Pemerintah Indonesia telah mengakui Aluk To Dolo atau Hindu Alukta sebagai bagian dari Hindu di Indonesia.

    Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Suku Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

    Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat

    Identitas etnis

    Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya “Toraja” lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa’dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

     

    Sejarah

    Wilayah sekitaran Teluk Tonkin, yang terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

    Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

    Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

    Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

    Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat alis sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

    Masyarakat

    Keluarga

    Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktik umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.

    Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

    Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok, kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang

    Kelas sosial

    Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

    Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut benua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat mempengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

    Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

    Agama

    Saat ini, mayoritas orang telah menganut agama Kekristenan, yang sebagian besar adalah Protestan. Gereja Toraja, adalah salah satu gereja Protestan untuk orang , yang ibadahnya menggunakan bahasa dan bahasa Indonesia, dan kantor pusatnya berada di Rantepao, Utara. Dua kabupaten di Sulawesi Selatan sebagai kawasan dominan orang , yakni Kabupaten Tana dan Kabupaten Utara, dan kedua kabupaten ini penduduknya mayoritas orang Toraja dan mayoritas beragama Kristen. Selain itu, beberapa kawasan atau kecamatan di Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Makassar, juga banyak orang Toraja.

    Namun, sebelum mengenal Kristen, sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut alur, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbentuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

    Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut tominaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

    Kebudayaan

    Tongkonan

    Tongkonan adalah rumah tradisional yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”).

    Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

    Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

    Ukiran kayu

    Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura’ (atau “tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya .

    Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

    Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam etnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku  membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris.

    Upacara pemakaman

    Dalam masyarakat , upacara pemakaman (Rambu Solo’) merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama Aluk Todolo, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar Upacara pemakaman yang besar. Upacara pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rantai biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi dukacita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

    Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya

    Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau (Mantunu). Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diiringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum

    Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk menyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

    Musik dan Tarian

    Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa dukacita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual tersebut disebut Ma’badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’katia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dandan

    Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’randing ditampilkan ketika suku sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

    Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Passuling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku  juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa’pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah

    Bahasa

    Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana , dengan Sa’dan sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

    Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan -Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.Pada mulanya, sifat geografis Tana yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana , beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja

    Ciri yang menonjol dalam bahasa adalah gagasan tentang dukacita kematian. Pentingnya upacara kematian di telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan dukacita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena dukacita itu sendiri.

    Perkawinan

    Suku Toraja menerapkan sistem perkawinan endogami. Perkawinan dilakukan antara anggota yang satu lelaki dengan perempuan dari anggota yang lain yang masih dalam lingkungan rumpun yang sama. Perkawinan tidak diperbolehkan dilakukan di luar rumpun. Model perkawinan ini sangat dianjurkan dalam suku karena adanya kepentingan persatuan dalam hubungan antar keluarga. Perkawinan endogami juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kepemilikan tanah sebagai milik lingkungan keluarga sendiri atau milik rumpun sendiri. Suku Toraja memiliki sistem endogami yang bertentangan sekali dengan sifat hubungan kekerabatan yang ada di wilayahnya

    Pewarisan

    Suku Toraja melakukan pembagian warisan berdasarkan hukum adat. Pewarisan harta dilakukan dalam bentuk pembagian harta waris dari pewaris. Pewarisan juga digunakan untuk menentukan proses pelaksanaan upacara adat kematian pewaris. Anak-anak dari pewaris memiliki hak untuk memperoleh harta warisan dengan berdasarkan pada banyaknya jumlah penyembelihan kerbau. Jumlah warisan yang diperoleh disesuaikan dengan banyaknya kerbau yang disembelih oleh anak-anak yang menjadi ahli waris. Dalam hukum adat , pembagian warisan dibagi menjadi dua jenis warisan yang disebut “Ba’i’‘ dan “Patallang”. ”Ba’i” adalah warisan yang diberikan semasa orang tua masih hidup, sedangkan “Patallang”adalah pembagian waris sesudah orang tua meninggal. “Ba’gi” merupakan sebahagian harta orang tua yang dibagi secara merata, sedangkan harta yang belum dibagi akan diperoleh anak-anaknya melalui ”Patallang.” Istilah “patallang” berarti pengorbanan kepada orang tua pada saat telah meninggal dunia

    Ekonomi

    Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku untuk beternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

    Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

    Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cenderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

    Komersialisasi

    Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. “Tanah raja-raja surgawi di “, seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..

    Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai “perhentian kedua setelah Bali”. Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.Souvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981

    Para pengembang pariwisata menjadikan sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan “belum tersentuh”. Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersialkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

    Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai “objek wisata”. Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai “objek wisata” menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan souvenir.

    Pariwisata juga turut mengubah masyarakat . Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hierarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

    Peradilan Adat

    Suku Toraja memiliki peradilan adat yang dikenal sebagai Tarian Pitu atau dalam bahasa Toraja disebut sebagai Ra’ Pitu. Tarian Pitu merupakan merupakan 7 (tujuh) peradilan adat tradisional yang berasal dari Suku , provinsi Sulawesi Selatan. Sistem peradilan adat tradisional Tarian Pitu tersebut sudah digunakan jauh sebelum pihak Hindia Belanda menduduki Tana Toraja pada tahun 1906. Sekarang sistem peradilan adat tradisional Tarian Pitu tersebut hanya berlaku di kampung sekitar Tana yang jauh dari pusat kota di mana yang sistem peradilannya kini sudah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri

  • Suku Betawi yang ada di Ibukota

    Suku Betawi

    Suku Betawi (bahasa Betawi: Orang Betawi) adalah kelompok etnis Austronesia yang merupakan penduduk asli kota Jakarta dan sekitarnya. Kemunculan Betawi pertama kali pada abad ke-17 sebagai suatu komunitas dari berbagai etnis nusantara yang datang dan menetap di Batavia.

    Suku ini terbentuk melalui proses asimilasi dari berbagai budaya, termasuk Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Arab, Tionghoa, India, dan Eropa, sehingga menciptakan identitas budaya yang unik

     Etimologi

    Nama “Betawi” berasal dari kata “Batavia” yang lama kelamaan berubah menjadi “Batavia“, dari kata “Batawi” lalu kemudian berubah menjadi “Betawi” (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal). Secara historis, suku Betawi merupakan masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru. Suku Betawi terlahir karena adanya percampuran genetik atau akulturasi budaya antara masyarakat yang mendiami Batavia. setelah adanya percampuran budaya, adat-istiadat, tradisi, bahasa, dan yang lainnya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia. Komunitas ini lama kelamaan melebur menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi. Penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku diawali dengan pendirian sebuah organisasi bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.

     

    Sedangkan menurut penuturan sejarawan Betawi Ridwan Saidi, ada beberapa acuan mengenai asal mula kata Betawi:

    • Pitawi” (bahasa Melayu-Polinesia Purba) yang artinya larangan.Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batujaya. Sejarawan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan Candi Batujaya di Karawang merupakan sebuah kota suci yang tertutup, sementara Karawang merupakan Kota yang terbuka.
    • Betawi” (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang.
    • Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi,yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
    • Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut “Kayu Betawi”. Ada perbedaan pengucapan kata “Betawi” dan “Bekawi” pada penggunaan kosakata “k” dan “t” antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.

    Ada kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan benar. Menurut Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krukut, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar di Sulawesi Selatan, melainkan diambil dari jenis rerumputan

    Sejarah

    Periode sebelum masehi

    Sejarah penduduk asli Jakarta (dahulu bernama Sunda Kelapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam monografinya “Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran” (1977) secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanegara pada abad ke-5. Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3.500–3.000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Bekasi, dan Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia yang menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.

    Sementara Yahya Andi Saputra, seorang alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia, berpendapat bahwa penduduk asli Jakarta adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan 

    budaya, bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Ia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

    • Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
    • Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar.
    • Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.

    Dahulu, penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno. Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda

    Periode setelah masehi

    Periode awal

    Abad ke-2

    Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan China telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Tiongkok.

    Abad ke-5

    Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanegara di tepi sungai Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanegara. Tepatnya letak ibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Disinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanegara yang termasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumanegara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan mereka punya kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

    Abad ke-7

    Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanegara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatra. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadramaut, Yaman. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya’ dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

    Abad ke-10

    Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

    Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendra abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukim awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kuno sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarawan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

    Periode kolonialisasi Eropa

    Abad ke-16

    Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kelapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

    Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari koalisi Pajajaran dan Portugis. Daerah tersebut diubah namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Kemudian dimulailah islamisasi masyarakat sehingga saat itu masyarakat Jakarta berbudaya dan berbahasa jawa sama seperti wilayah pesisir lainnya yaitu Serang, Indramayu dan Cirebon. Itulah sebabnya hingga kini masih tersisa kosakata dan budaya jawa pada suku betawi.

    Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC memaksa penduduk menggunakan bahasa melayu pasar. Selain itu VOC juga banyak mendatangkan bawahan dari luar pulau. Sejak saat itulah bahasa betawi menjadi kreol melayu.

    VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690.

    Abad ke-19

    Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, sejarawan Australia, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad ke-19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

    Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari:

    • Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
    • Catatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
    • Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
    • Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

    Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.

    Mengikuti kajian Castles, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan ke semua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

    Abad ke-20

    ada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Namun menurut Uka Tjandrasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

    Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

    Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran label dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.

    Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.

    Setelah kemerdekaan

    Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir

    Seni dan kebudayaan

    Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke-11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan “Kalapa” (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugis dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

    Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Suku Betawi, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Bugis, dan lainnya. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, Belanda, dan Portugis.

    Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Setu Babakan.

    Bahasa

    Bahasa Betawi dituturkan dalam dan sekitar Jakarta modern (new). Secara tradisional, Bahasa Betawi Tengahan atau Bahasa Betawi dialek Jakarta terdaftar sebagai Bahasa Melayu lebih tepatnya Bahasa Melayu Kreol dikarenakan banyak kosakata serapan, kemiripan, beberapa kesamaan atau pengaruh kuat dari Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dengan bentuk baku yang cenderung diakhiri dengan vokal ‘é’ tinggi/e tailing. Bahasa Betawi dialek Tengahan tidak begitu beragam kosakatanya dibandingkan dengan Bahasa Betawi dialek Pinggiran yang lebih terasa keberagaman kosakatanya karena banyak serapan dari Bahasa Sunda & sebagian Bahasa Jawa serta beberapa kosakata serapan dari Bahasa lainnya. Para pakar/peneliti menyebutkan bahwa Bahasa Betawi adalah sebuah dialek dari bahasa Melayu yang biasa disebut Bahasa Melayu dialek Jakarta/Melayu Batavia, namun hal ini tak sepenuhnya benar karena Bahasa Betawi yang memiliki kedekatan/kekerabatan dengan Bahasa Melayu ialah hanya dialek Tengahan/Jakarta sedangkan untuk dialek Pinggiran lebih dekat dan berkerabat dengan Bahasa Sunda & Jawa. Bahasa Betawi dapat dikatakan sebuah rumpun dari Bahasa Melayu ataupun disebut sebagai Bahasa dagang/Melayu Kreol. Secara historis, Bahasa Betawi tercipta karena adanya percampuran antara Bahasa yang ada di Batavia pada masa lalu sehingga terbentuklah Bahasa Betawi yang beragam kosakata dan dialeknya.

    Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi dialek Tengahan, Bahasa Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

    Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar “Kalapa” (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto-Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kelapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah ini pun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya-Kediri yang dimediasi oleh Tiongkok yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

    Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda di wilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideng dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

    Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi “é” sedangkan dialek Betawi pinggir adalah “a”. Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Mester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin Sueb, Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa” (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan “é”, sedangkan Betawi pinggir bernada “a” keras mati seperti “ain” mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

    Musik

    Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti “Kicir-kicir”. Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang

    Tari dan drama

    Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

    Drama tradisional Betawi antara lain lenong dan tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton

    Cerita rakyat

    Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau Si Jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal “keras”.Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya

    Senjata tradisional

    Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.

    Rumah tradisional

    Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Terdapat pula rumah tradisional lain seperti rumah panggung Betawi.

    Suku Betawi di Jakarta mengenal tradisi “Bikin Rume” yang dilakukan ketika hendak membangun rumah.

    Kepercayaan

    Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam. Angropolog Fachry Ali dari IAIN Pekalongan menyatakan Islam sebagai salah satu sumber identitas dan budaya Betawi, sehingga tidak bisa dipisahkan. Forum Betawi Rempug (FBR) menyatakan salah satu etos organisasi mereka tiga S: Solat, Silat dan Sekolah. Akademisi luar negeri seperti Susan Abeyasekere dari Monash University juga menyetujui, orang Betawi sering menunjukan identitas islamnya dalam karya tulisan mereka.

    Walau begitu ada pula komunitas kecil Betawi yang menganut Kekristenan yakni Katolik dan Protestan. Salah satu komunitas ini adalah dari Kampung Tugu, Jakarta Utara. Mereka mengatakan mereka keturunan campuran antara penduduk lokal dengan Mardijkers, bangsa Portugis maupun Belanda.

    Selain itu ada pula komunitas Kampung Sawah. Meester Anthing menjadi orang Protestan pertama yang mencampurkan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya dan mendirikan jemaat disana. Namun lambat laun komunitas ini terpecah menjadi tiga pada tahun 1895. Fraksi pertama di bawah guru Laban dan berpusat di Kampung Sawah Barat, fraksi kedua kelompok Yoseph yang berpusat di Kampung Sawah Timur, dan fraksi ketiga yang dipimpin Guru Nathanael yang kemudian memeluk Katolik cikal bakal Paroki Santo Servatius Kampung Sawah

    Perilaku dan sifat

    Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012.

    Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebihan dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dengan pendatang dari luar Jakarta.

    Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang masih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

    Memang tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi terhadap generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

    Profesi

    Sebelum era Orde Baru, profesi orang Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitar Rawa Belong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

    Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji’ih teman seperjuangan Si Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustaz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

    Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk “terpaksa” memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang dikenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.